Antologi Puisi Heppy Derosary

Foto:Dok. Pribadi

KISAH KELAM  DERMAGA KAYU

Hujankah hari itu, sehingga langit begitu gelap?
Laut bergelora bak bencana
Duka terbawa arus kesemua pantai yang menonton tangisan pilu 
Orang yang tak bersalah 

Dermaga kayu membisu bersama kisah kelam yang menimpanya
Catnya kini dipudarkan oleh warna merah  tanda duka yang terdalam
Bersama  sisa perasaan bersalah para perenggut kehidupan
Meratapi dirinya yang kini tertimpah tragedi yang menyayat hati 

Dermaga itu benar-benar rapuh
Bersama senja yang mulai menghilang
Bersama ombak yang mencoba memukulnya berkali-kali
Bersama setiap goresan pemahat yang kini melukainya
Bersama isak duka yang terkubur dalam

Ia mencoba untuk menangis
Sebentar ia tersadar bahwa ia sebatang kara
Kapal tak lagi ingin menemaninya 
Nahkoda kini takut untuk bersandar padanya

Tubuhnya telah benar-benar rapuh 
Bersama darah yang mengering dan menyisahkan pilu
Ia terdiam seutuhnya dan tenggelam bersama air laut
 yang menghapus seluruh deritanya

Anakku dan Bebannya

Wajahnya kusut
Tubuhnya tak menarik sama sekali
Dan matanya menyiratkan seribu duka
Entah duka siapa yang ditanggungnya

Rautnya tak pernah berubah
Walaupun mentari bersinar indah
Seakan hidupnya telah menjadi sangat tak mungkin untuk tetap terukir 
Sementara usianya masih begitu muda

Anakku cemberut
Memegang perut yang tak pernah terisi 
Entah dengan makanan atau kedamaian
Bebannya terlalu berat utuk dipikul 
Oleh tubuhnya yang mungil
Bahkan berharap pun ia tak mampu

Sedangkan bebannya terus menindih tubuhnya 
Hingga makin mengecil bersama usianya yang tak kunjung bertambah 
Dimakan beban yang terus bertambah
Hingga matanya tertutup untuk selamanya

Bebannya kini telah tiada 
Bersama angin yang tak tertiyup dari hidung kecilnya 
Yang tak pernah mencium aroma makanan
Telinganya yang tuli suara tawa
Dan matanya yang tak pernah melihat senyuman 
Bebannya pun pergi bersama lidah yang tak akan mengecap sedikit nikmatnya dunia

DOA IBU

Hujan menetes pelan….

bersama setiap kata yang diucapnya

Bersama sejuta permohonan yang disampaikan melalui air matanya

Dan setiap tetes hujan menjadi ujud permohonannya


Ia berlutut dan merendah di hadapan Yang Kuasa

Memohon berkat bagi setiap kerinduannya 

Entah sampai kapan ia akan berucap sunyi

Namun matanya tertutup tanpa menatap


Derai hujan berhenti

Ketika air matanya mengalir deras

Ia berdengung dengan hatinya 

Merindukan  orang yang sangat disayanginya


Tertuang sejuta harapan dalam setiap ucapan bibirnya yang dingin

Tubuhnya  kini benar-benar bersujud di depan kaki Yang Kuasa

Merebahkan semua yang ingin disampaikannya 

Ia sudah sepenuhnya berserah diri dalam ucap heningnya


Ayah dan Perjuangannya

Mentari begitu menyengat, membakar tubuh yang tegar

Ia mengayun cangkul dengan segenap tenaganya

Walaupun keringatnya tak berhenti untuk mengalir

Seakan banjir beban memenuhi tubuhnya yang kini mulai lelah


Ia masih setia mengayun cangkulnya 

Walau bebannya teramat berat

Menanggung beban demi orang  yang disayanginya

Membuat tubuhnya makin kuat karena ditopang oleh semangatnya


Ia berusaha untuk tetap kuat

Walaupun dirinya hanyalah seorang yang telah tua usianya 

Wajahnya kini keriput

Menggambarkan jutaan kisah suka duka yang dialaminya 


Cangkulnya terus menggores tanah

Agar orang yang ia cintai tak kelaparan

Walau seluruh usianya ia habiskan bersama cangkultuanya

Yang kini merasa lelah oleh kerasnya perjuangan untuk menembus semua perjuanganya


Yah….

Semuanya akan tetap terukir indah walau tubuhnya telah latih

Dan cangkulnya mulai tumpul

Karena itulah perjuangan ayah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEROSOTNYA PANGGILAN SEMINARIS

Biarkan Takdir Bercerita

EVALUASI HASIL PTS SMAK SEMINARI ST. YOHANES PAULUS II LABUAN BAJO