MEROSOTNYA PANGGILAN SEMINARIS
Tiada asap tanpa api. Begitu pula dengan panggilan hidup para seminaris. Merosotnya panggilan seminaris sudah menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh umat katolik. Hal demikian ditandai dengan kurangnya minat para seminaris untuk meneruskan pendidikannya ke Seminari Tinggi. Kondisi ini tentunya memprihatinkan dan mengguncang kehidupan Gereja di masa kini maupun pada masa mendatang. Kondisi seperti ini kemudian memunculkan banyak pertanyaan dari masyarakat mengenai alasan yang mendasari terjadinya kemerosotan panggilan tersebut.
Berdasarkan realita yang diamati,
kemerosotan panggilan
para seminaris memiliki alasan mendasar yang tentunya berpengaruh bagi pertumbuhan panggilan. Alasan-alasan ini sudah menjadi dasar yang kuat sehingga mampu membuat para seminaris dilemma panggilan hidup. Alasan tersebut misalnya, situasi dan kondisi keluarga yang tidak memadai. Dikatakan demikian karena keluarga merupakan tiang penyangga bagi seorang seminaris dalam menumbuhkan dan memupuk panggilannya. Dalam kehidupan berkeluarga pasti selalu muncul tantangan dan cobaan, yang tentunya sangat berpengaruh terhadap cara berpikir hingga tingkahlaku para
seminaris dalam realita hidupnya sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, bahwa tantangan-tantangan dalam keluarga sudah sering terjadi. Tantangan dan cobaan tersebut muncul karena terjadi konflik dalam keluarga serta kondisi ekonomi yang tidak memadai. Seperti yang
kita ketahui bahwa sebelum tumbuh
dewasa seseorang masih membutuhkan bimbingan dan dukungan dari orang-orang
diseikitarnya khususnya keluarga atau orang-orang
terdekatnya. Begitu pun dengan para seminaris, mereka juga masih bergantung dengan keluarganya. Maka, jika dikaitkan dengan hal ini maka tidak heran lagi
jika para seminaris mengalami krisis panggilan.
Selain itu, ada hal lain juga yang turut mempengaruhi
fenomena krisis panggilan tersebut yakni sebuah budaya yang akrba disebut ‘ikut
arus’. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan berkomunitas tentunya para seminaris
akan berjumpa banyak orang dengan kepribadian serta latar belakang sosial,
ekonomi dan budaya yang berbeda. Dalam kondisi demikian sangat sulit untuk
menyatukan, serta menyelaraskan pandangan atau perspektif antara yang satu
dengan yang lainnya sehingga memerlukan upaya
berupa pendekatan. Pilihan hidup pun demikian, sudah pasti setiap orang
memiliki rancangan-rancangan yang berbeda atas hidupnya. Jika diukur dari
beragamnya pandangan, pilihan serta rancangan hidup para seminaris, sudah pasti
setiap orang akan melahirkan argumen-argumen yang pasti mendukung pandangannya
tentang kehidupan. Sehingga dari sekian banyak argumen yang muncul, pasti salah
satu atau sebagian argumen yang paling masuk akal akan membuat orang lain
dengan mudahnya terpengaruh lalu kemudian mengikuti pandangan hidup sesuai
dengan argumen tersebut, sehingga terjadilah perubahan orientasi hidup dimana
yang pasti motivasi dan orientasi awal akan dipengaruhi. Pada akhirnya setiap
pribadi para seminaris akan mengalami pertentangan dalam memilih jalan atau
panggilan hidupnya. Pertentangan tersebut kemudian membuthkan sebuah refleksi
mendalam serta renungan sehingga mampu membuat para seminaris yakin dalam
menentukan panggilan hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengatasi krisis panggilan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini diperlukan kerja sama dari semua pihak yang menjadi tiang penyangga Gereja masa depan, misalnya pihak seminari dan keluarga. Dari pihak seminari diharapkan melakukan upaya-upaya berupa rekoleksi, renungan, sharing, serta ret-ret rutin dengan tema untuk menyadari panggilan atau pun tema-tema yang mengantar para seminaris menyadari panggilan hidupnya. Sedangkan, dari pihak keluarga diharapkan dapat memberikan dukungan kepada para seminaris, sehingga para seminaris semakin yakin dengan pilihan hidupnya.
Penulis:Arsan Cunai (Xll IPS)

Komentar
Posting Komentar