Biarkan Takdir Bercerita

 

Flamboyan di sudut taman nampak mekar merona berguguran menghiasi halaman belakang sebuah rumah usang. Daniel melangkah sambil menikmati semilir angin petang itu dalam sebuah kesesakan yang mencengkam. Ia duduk di sebuah kursi kayu dengan tatapan nanar mengingat sebelas November tiga tahun yang lalu. Daniel saat itu masih menjelma sebagai rindu yang paling dirindukan. Rindu milik seseorang yang digenggam sangat erat hingga sesak terasa.

                                                                 ***

3 November 2019 dini hari, Kanaya sudah sibuk membersihkan halaman rumah. Menjamu hidangan istimewa dengan senyum yang tak kalah istimewa. Wajah merona dengan tatapan matanya yang sayu menyiratkan gelora dalam dirinya. Hari ini dia berdandan, meski yang dunia tahu ia adalah gadis sederhana. Gadis dengan tubuh mungil, berambut pendek yang selalu tampil natural tanpa polesan diwajahnya. Aku begitu penasaran apa gerangan yang membuatnya sampai mengenakan gaun yang estetik seperti ini. Gadis itu mengambil beberapa kelopak flamboyan yang gugur, merona seperti pipinya. Dia menyulap ruang tamunya menjadi sebuah ruang makan malam  romantis seperti pada novel bangsawan British. Terdengar lantunan lagu falling in love with you milik Haley Reinhart. Wah, tak aku sangka dia punya selera romantis seperti ini.  Sepanjang hari gadis ini seperti orang mabuk saja. Tanpa ia sadari petang sudah menyapa sejak tadi. Sebuah ketukan membuyarkannya dari kesibukan. Terdengar suara memanggil namanya.

“Nay..... buka pintunya.” Suara itu amat dikenalnya. Kanaya berlari memberikan pelukan hangatnya, menghempaskan semua kerinduan ke dada pria tersebut.

Kapan kamu sampai?”  Dia bertanya dengan air mata bahagia yang tak terbendung.

Tadi siang, jawab laki-laki itu dengan perasaan haru. Sambil diusapinya pipi gadis itu, Dia menatapnya dengan tatapan yang amat dalam,  tidak salah lagi untuk menyatakan rasa cintanya pada gadis mungil itu.

Mereka duduk di meja bercat putih, sambil menikmati hidangan yang disiapkan Kanaya. Sesekali mereka bertemu pandang dan saling tersenyum. Lantunan lagu membuat aura kemesraan terpancar penuh di ruangan itu. Setelah menyelesaikan santap malam, Kanaya buru-buru membereskan semuanya. Gadis itu kembali dari dapur dengan wajah penuh haru dengan sebuah kue di tangannya. Kue ulang tahun berhiaskan angka 24. Kanaya menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan gembira. Daniel menatap gadis itu penuh ketakutan. Wajahnya yang ayu itu menambah ketakutan Daniel, sesak dan mencengkam. Daniel menutup mata, menyiratkan doa terbaiknya lalu meniup lilin. Di dekapnya Kanaya dengan erat. Isak tangisnya tak terbendung mengagumi ketulusan gadis ini. Kini mereka duduk di halaman belakang memandangi malam dengan bulan yang iri hati melihat senyum dua sejoli dimabuk asmara ini.

Daniel mulai menatap wajah gadis itu, digenggamnya tangan yang kedinginan, tatapanya jauh ke dalam kelopak sayu dihadapannya. Dengan hati-hati ia mulai berbicara mengenai keputusan penting.

“Aku sudah memasukan lamaran tiga bulan yang lalu dan aku sangat menginginkan kesempatan itu,” katanya memulai pembicaraan. Lidahnya terasa kelu untuk meluncurkan kata-kata yang akan membuatnya menyesal karena dia akan menyakiti hati gadis di hadapannya ini.

Kanaya menatapnya dengan tatapan nanar. “Hasilnya bagaimana?” tanya kanaya dengan polosnya. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang.

“Aku sudah mendapat surat balasannya, dan aku akan bergabung akhir November,” kata-kata itu meluncur cepat dari mulut Daniel. Dengan tangan gemetar dia menyentuh tangan Kanaya yang kini berkeringat. Tatapan gadis itu nyaris kosong. Hingga Daniel pun merasa terkejut. Rasa takut yang amat mencekam memenuhi seluruh bagian tubuhnya. Dia tidak pernah melihat tatapan itu dari mata Kanaya. Daniel kehabisan kesabaran hingga diapun melanjutkan kata-katanya yang tergantung tadi karena melihat tatapan kosong dari mata indah di hadapannya

“Aku tahu Kanaya tidak punya siapa-siapa lagi, tinggal di rumah ini pun sendirian! Isak tangis mulai terdengar dan semakin menjadi-jadi. “Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Aku sudah menunggu kesempatan ini sejak lama.” katanya dengan suara yang sengaja direndahkan. Suaranya hampir tak terdengar. Namun intonasi suaranya amat kuat dan dalam membuat Kanaya menjadi lebih mengerti tanpa harus mendengarnya dengan jelas. Karena tidak ada respon dari Kanaya, Daniel merasa amat takut. Dia takut Kanaya akan membencinya. Dengan gerakan cepat karena rasa bersalahnya, Daniel mendekap tubuh mungil itu dengan erat, membelai rambutnya sambil berucap maaf yang tak dapat dihitung banyaknya.

Yah, Kanaya memang tidak mempunyai keluarga lagi selain daniel. Daniellah orang terdekatnya. Kanaya ditinggal pergi orang tuanya sejak ia masih duduk di bangku  sekolah dasar. Ia tidak punya saudari ataupun saudara. Semenjak itu dia dibesarkan oleh pamannya yang adalah seorang guru di suatu desa. Di tempat itulah ia berjumpa Daniel, seorang leaki yang sudah dianggapnya sebagai teman, saudara dan kekasihnya yang sangat ia anggap berarti. Keduanya telah saling mengenal selama sembilan tahun dan telah bersama sebagai kekasih selama empat tahun. Kanaya begitu bergantung pada Daniel. Daniel bukan saja kekasih tetapi Daniel adalah rumah tempat Kanaya pulang. Setelah memutuskan kembali ke tempat tinggal orang tuanya, Kanaya mulai hidup sendiri dan tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Daniel selalu berkunjung disetiap kesempatan untuk menemui kekasihnya itu.

                                                                     ***

Perbincangan malam itu semakin mencengkam. Kanaya tidak dapat menerima keputasan Daniel yang menurutnya sangat egois. Semuanya tidak terselesaikan dengan baik malam itu. Kanaya berlari ke kamarnya dan meminta Daniel pergi saat itu juga. Rumah itu seketika kosong dan menjadi tangis paling menyakitkan bagi Kanaya setelah kepergian orang tuanya. “Mengapa?... mengapa aku selalu ditinggal pergi?” ratap Kanaya dalam hati. Sedangkan Daniel berlalu menahan pedih tikaman perasaan yang mencambuknya bertubi-tubi. Di depan pagar tua itu Daniel menangis, menendang pot bunga anggrek yang mungkin bersedih menatapnya. Dirasakannya perih membayangkan air mata Kanaya. Dia memang telah berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan membiarkan setetes air matapun jatuh dari kelopak mata ayu itu. Namun takdir sepertinya berkata lain, dialah orang yang kemudian menyakiti gadis yang dicintainya itu, dan membuat gadis itu harus menumpahkan air matanya sekali lagi setelah kepergian orang tuanya.  Dia telah berjanji dan diapun yang  kemudian mengingkarinya.

Malam itu dengan disaksikan oleh bulan yang ditutupi awan gelap, keduanya berada di ruang yang berbeda, saling menangisi takdir.

                                                              ***

Tempat dimana jubah putih pertama Daniel kenakan pada misa upacara kematian seorang pastor. Jubah putih yang meyakinkan Kanaya untuk sebaiknya lari saja. Iringan lagu “Bahagia Abadi” menghantar kepergian sang pastor. Kanaya menatap dari jauh  deretan punggung berjubah putih, bangku depan disamping peti kematian sang pastor. Kanaya sempat tersenyum sebelum melakukan tanda salib di depan pintu Katedral, kemudian berlalu melewati gua Maria di sudut jalan. Ada sayatan rupanya, tapi Kanaya selalu pandai berpura-pura. Dia terus melangkah meninggalkan Katedral tua itu. Langkah kakinya semakin tergesah-gesah, ia bergetar hebat. Dia paksakan berlari, sampai di persimpangan jalan. Tatapan nanar yang menyimpan ratap itu terpantau sangat kosong. Dia tersadar mendengar makian seseorang yang ternyata adalah orang muda yang hampir saja menabraknya. “Hey, kalau mau mati jangan disini!Kanaya tersentak, sejenak hening. Dia merasa diri amat bodoh hingga dia berlari melewati orang asing yang tak dikenalnya itu. Dia berlari semakin jauh, dan jauh hingga dia terjatuh di atas tumpukan batu di persimpangan jalan. Dia mulai meratapi nasibnya. Dengan hati yang pedih dan amat menyakitkan, dia menatap langit sambil bertanya dalam hatinya. “Tuhan, apakah aku tak layak untuk dicintai?” tangisannya kembali pecah hingga membuat dirinya tersiksa.

Begitu kerasnya diriku, Aku menyangkal pertemuan kita yang adalah kebetulan sebagai sebuah takdir yang aku paksakan mati-matian.

 Kanaya yang malang telah melepas cintanya. Cinta yang seharusnya selalu ada bersamanya. Cinta yang seharusnya menguatkannya. Namun  cinta  itulah yang kemudian menyakitinya, yang memaksanya untuk bertanya “Layakkah aku dicintai?” Dia menelah kata-kata itu. Kata-kata yang membuatnya semakin hancur.

Yah... hidup memang tidak selalu menyenangkan. Kepercayaan tidak akan mengubah pahitnya hidup.

Penulis: Klaudia Waru (XII IPA)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Penting Pendidikan dalam Mendobrak Kemiskinan di NTT

Antologi Puisi Arifin Basri